Home » Informasi » Tradisi Ekahan Masyarakat Sunda, Syariat Agama Bernafaskan Kearifan Lokal

Tradisi Ekahan Masyarakat Sunda, Syariat Agama Bernafaskan Kearifan Lokal

Tradisi Ekahan merupakan tradisi aqiqah yang diselenggarakan oleh masyarakat Sunda. Pada hakekatnya tradisi ini adalah tradisi umat Islam, namun berbalut dengan kearifan lokal. Sama dengan tradisi aqiqah di daerah lainnya, tradisi Ekahan ini pada garis besarnya berupa upacara pemotongan rambut bayi dan penyembelihan hewan aqiqah berupa kambing atau domba. Namun ada beberapa upacara lain yang melengkapi tradisi Ekahan masyarakat Sunda. Simak ulasannya!

Tradisi Ekahan Masyarakat Sunda
Bayi lahor boasanya akan disambut dengan tradisi aqiqah. Sumber Unsplash

Upacara Mengandung Sembilan Bulan

Dalam upacara ini diadakan pengajian dengan maksud agar bayi yang dikandung cepat lahir dengan selamat karena usia kandungan sudah berada pada masa sembilan bulan dan sudah waktunya lahir. Ada makanan berupa bubur yang dibuat yaitu bubur lolos yang akan dibagikan bersama dengan tumpeng dan beragam makanan lainnya. Bubur ini sebagai perlambang dari upacara ini yaitu supaya mendapat kemudahan waktu melahirkan.

Upacara Reuneuh Mundingeun

Upacara ini diselenggarakan agar perempuan yang hamil tua segera melahirkan jika sudah melewati masa lebih dari sembilan bulan namun tidak ada tanda-tanda bayi segera lahir. Pada pelaksanaannya leher perempuan itu dikalungi kolotok dan dituntun oleh indung beurang sambil membaca doa dibawa ke kandang kerbau. Mundig dalam bahasa sunda memang berarti kerbau.

Bisa juga dengan mengelilingi rumah sebanyak tujuh kali apabila tidak ditemukan kandang kerbau. Perempuan yang hamil itu harus berbuat seperti kerbau dan menirukan bunyi kerbau sambil dituntun dan diiringkan oleh anak-anak yang memegang cambuk. Setelah mengelilingi kandang kerbau atau rumah, kemudian oleh indung beurang dimandikan dan disuruh masuk ke dalam rumah.

Upacara Memelihara Tembuni

Upcara ini dilaksanakn jika bayi sudah lahir. Tembuni adalah plasenta bayi atau ari-ari. Tembuni tidak boleh dibuang sembarangan, tetapi harus diadakan upacara waktu menguburnya atau menghanyutkannya ke sungai. Hal ini dikarenakan tembuni dianggap sebagai saudara bayi. Tembuni biasanya dirawat dibersihkan dan dimasukan ke dalam pendil dicampuri bumbu-bumbu garam, asam dan gula merah lalu ditutup memakai kain putih yang telah diberi udara melalui bambu kecil.

Paraji akan menggendong pendil dengan kain panjang dan dipayungi dan kemudian dikuburkan di halaman rumah atau dihanyutkan ke sungai secara adat. Upacara penguburan tembuni disertai pembacaan doa keselamatan. Di dekat kuburan tembuni itu dinyalakan pelita sampai tali pusat bayi lepas dari perutnya.

Upacara Nenjrag Bumi

Upacara Nenjrag Bumi ialah upacara memukulkan alu ke bumi sebanyak tujuh kali di dekat bayi, atau cara lain yaitu bayi dibaringkan di atas pelupuh, kemudian indung beurang menghentakkan kakinya ke pelupuh di dekat bayi. Maksud dan tujuan dari upacara ini ialah agar bayi kelak menjadi anak yang tidak lekas terkejut atau takut jika mendengar bunyi bunyian.

Upacara Puput Puseur

Tali pusat yang sudah lepas itu oleh indung beurang dimasukkan ke dalam kanjut kundang . Lalu pusar bayi ditutup dengan uang logam/benggol yang telah dibungkus kasa atau kapas dan diikatkan pada perut bayi, maksudnya agar pusat bayi tidak dosol, menonjol ke luar dalam bahasa jawanya adalah bodong. Pada upacara ini dibacakan doa selamat, dan disediakan bubur merah dan bubur putih dan juga pemberian nama bayi.

Tali ari, tembuni, pembungkus, dan kakawah biasa disebut dulur opat kalima pancer, yaitu empat bersaudara dan kelimanya sebagai pusatnya ialah bayi itu. Kesemuanya itu harus dipelihara dengan baik agar bayi itu kelak setelah dewasa dapat hidup rukun dengan saudara-saudaranya. Karen itulah untuk merawat benda tersebut diperlukan beragam ritual.

Upacara Puncak Ekahan

Sesuai bunyi salah satu hadits, upacara Ekah atau aqiqah ialah upacara menebus jiwa anak sebagai pemberian Allah. Selain itu upacara ini sebagai ungkapan rasa syukur telah dikaruniai anak oleh Allah. Upacara ini berisi doa dan pengharapan agar anak itu kelak menjadi orang yang saleh yang dapat menolong kedua orang tuanya nanti di alam akhirat.

Pada pelaksanaan upacara ini biasanya diselenggarakan setelah bayi berusia 7 hari, atau 14 hari, dan atau setelah 21 hari. Perlengkapan yang harus disediakan adalah domba atau kambing untuk disembelih, jika anak laki-laki dombanya harus dua, dan jika anak perempuan hanya seekor saja. Namun tidak jarang bayi laki-laki disediakan domba satu ekor karena keterbatasan kemampuan. Selanjutnya domba itu disembelih oleh ahlinya atau Ajengan dengan pembacaan doa selamat, setelah itu dimasak dan dibagikan.

Untuk saat ini sudah ada layanan penyedia domba aqiqah yang memudahkan masyarakat mendapatkan domba sekaligus jasa penyembelihannya. Seperti penyedia jasa aqiqah Jakarta dan juga penyedia jasa aqiqah di Jawa Barat, meskipun hal ini terlihat ‘merusak’ adat, namun banyak masyarakat yang menggunakan jasanya dan memadukannya dengan ritual adat ekahan.

Upacara Nurunkeun

Pertama kali bayi dibawa ke halaman rumah untuk mengenal lingkungan dan sebagai pemberitahuan kepada tetangga bahwa bayi itu sudah dapat digendong dibawa berjalan-jalan di halaman rumah, maka diselenggarakan upacara Nurunkeun. Upacara Nurunkeun dilaksanakan setelah tujuh hari upacara Puput Puseur.

Pelaksanaannya dengan mengadakan pengajian untuk keselamatan dan sebagai hiburannya diadakan pohon tebu atau pohon pisang yang digantungi aneka makanan, permainan anak-anak yang diletakan di ruang tamu. Untuk diperebutkan oleh para tamu terutama oleh anak-anak yang menghadiri upacara tersebut.

Upacara Cukuran

Upacara cukuran memang sesuai dengan perintah nabi yaitu mencukur rambut bayi. Upacara ini dimaksudkan untuk membersihkan atau menyucikan rambut bayi dari segala macam najis. Upacara cukuran atau marhabaan juga merupakan ungkapan syukuran yang dilaksanakan pada saat bayi berumur 40 hari.

Tradisi Ekahan Masyarakat Sunda
Cukuran. Sumber budayajawa.id

Dalam ritual ini bayi dibaringkan di tengah-tengah para undangan disertai perlengkapan wadah yang diisi air kembang dan gunting yang digantungi perhiasan emas berupa kalung, cincin atau gelang. Pada saat itu mulailah para undangan berdo’a dan berjanji atau disebut marhaban atau Sholawatan dan membacakan doa yang mempunyai makna selamat lahir bathin dunia akhirat. Pada saat marhabaan itulah rambut bayi digunting sedikit oleh beberapa orang yang berdoa pada saat itu.

Demikian ulasan mengenai tradisi Ekahan masyarakat Sunda yang merupakan syariat aqiqah dalam budaya Sunda. Semoga artikel ini bisa menambah pengetahuan kita tentang khasanah budaya Nusantara. Jangan lupa membaca artikel kami lainnya tentang keindahan candi Badut di Malang. Terima kasih.

Leave a Comment